Bangsa Indonesia merupakan salah satu bangsa dengan sistem demokrasi terbesar di dunia, Demokrasi itu pada hakikatnya tidak hanya bersifat khayalan namun termaktub di dalam falsafah bangsa Indonesia, yakni Sila Ke-4 Pancasila, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaraan / Perwakilan. Dalam Batasan definisi secara mikro negeri dekorasi ialah tempat di mana kebebasan dihargai dan setiap aspirasi diakui keberadaanya. Semua steakholders bangsa idealnya harus diakui kontribusinya, salah satunya ialah pahlawan yang selalu berjuang melawan pedihnya kebodohan, pahlawan tersebut tidak lain adalah Guru.
Namun fakta di lapangan memperlihatkan fakta yang berbanding sangat terbalik, di tengah hiruk-pikuk demokrasi, seringkali suara sayup-sayup pahlawan tanpa tanda jasa terdengar samar. Mereka mungkin berasal dari lapisan masyarakat yang kurang terlihat atau bahkan diabaikan oleh kebijakan publik. Namun, ketidaksetaraan ini bukanlah alasan bagi mereka untuk menyerah. Sebaliknya, keberanian mereka hadir sebagai kritik terhadap ilusi keadilan yang seharusnya diwujudkan oleh sistem demokrasi (Rusmin, 2019).
Keberanian ini terwujud dalam bentuk-bentuk yang sederhana namun bersifat fundamental. Bentuk keberanian tersebut salah satunya ialah Guru honorer, sebagai salah satu contoh konkret dari pahlawan tanpa tanda jasa di bidang pendidikan, Guru Honorer menunjukkan keberanian mereka dalam menghadapi tantangan yang sering kali diabaikan oleh mata publik. Mereka adalah tulang punggung pendidikan di negeri ini, Guru Honorer berdiri kokoh meski tanpa pengakuan dan imbalan yang setimpal. Mereka adalah pahlawan-pahlawan yang tidak mengejar tanda jasa, tetapi mendedikasikan hidup mereka untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi berkemanusiaan dan berkeadilan . Fakta dilapangan menunjukkan, mayoritas guru honorer bekerja dengan gaji yang minim, tidak mendapatkan fasilitas kesejahteraan yang memadai, bahkan keberadaan mereka dalam beberapa situasi tidak dianggap ada, namun terlepas dari banyaknya dinamika tersebut, semangat mereka dalam memberikan pelayanan pendidikan yang berkualitas tidak pernah luntur. Mereka adalah pahlawan nyata di ruang-ruang kelas yang seringkali berada di kawasan terpencil atau daerah yang sulit dijangkau. Tanpa mengenal lelah, mereka menyumbangkan ilmu dan kebijaksanaan, menjadi mentor dan panutan bagi generasi penerus (Fauzan, 2021).
Keberanian yang ditunjukkan pahlawan dalam keheningan tersebut tidak pernah mendapat apresiasi dan penghargaan yang layak, baik dalam hal teoretis-kebijakan maupun dalam hal fakta-implementasi. Mereka mungkin tidak mendapatkan tunjangan yang layak, perlindungan pekerjaan yang memadai, atau peluang pengembangan profesional yang seharusnya menjadi hak setiap pendidik. Ini adalah realitas yang sering kali terlewatkan dalam ilusi demokrasi kita, di mana setiap warga seharusnya memiliki hak yang sama, termasuk hak untuk mendapatkan pengakuan dan perlindungan dalam dunia kerja (Ghaybiyyah & Mahpur, 2022).
Dalam menajalankan aktivitas sebagai seorang tenaga pendidik, guru honorer sama sekali tidak pernah meminta pujian atau perhatian. Mereka bekerja di balik layar, menempa perubahan dari sudut yang mungkin terabaikan oleh kebanyakan orang. Artikel ini hendak mengajak kita untuk melihat dan merefleksikan, apakah pahlawan yang selalu berjuang untuk membangun peradaban bangsa Indonesia ini telah mendapatkan hak-hak kesejahteraanya secara ideal ataukah belum ?. Bukankah sila Ke-5 Pancasila ialah Keadilan, lalu dimanakah letak keadilan bagi Guru Honorer tersebut ?
Dalam realitas secara mikro, ketidakadilan guru honrer tersebut dapat diminimalisasi dengan mengakui peran vital pahlawan tanpa tanda jasa. Artikel ini mencoba membuka mata kita terhadap keberanian yang ada di sekitar kita, di dalam struktur masyarakat yang seringkali tidak memberi ruang untuk mereka bersinar. Semakin kita memahami dan menghargai kontribusi mereka, semakin kita dapat merajut kembali makna sejati dari demokrasi: kebebasan, keadilan, dan kesetaraan untuk semua, tanpa terkecuali.
Guru adalah agen perubahan yang bekerja dalam diam, tanpa perlu sorotan, dan terkadang tanpa harapan akan penghargaan. Namun, keberanian mereka menciptakan getaran positif dalam masyarakat. Pahlawan-pahlawan ini memahami bahwa keberanian sejati tidak selalu menghendaki pengakuan atau pujian. Mereka adalah pilar-pilar kuat yang mendukung fondasi demokrasi, memastikan bahwa nilai-nilai itu bukan hanya retorika kosong tetapi juga realitas yang hidup dalam tindakan sehari-hari. Mereka menunjukkan bahwa kekuatan demokrasi sejati tidak hanya terletak pada struktur formal pemerintahan, tetapi juga pada tindakan individu yang mencerminkan nilai-nilai tersebut. Mereka adalah pionir-pionir yang selalu berusaha menciptakan peradaban emas bangsa Indonesia. (Destiarani, 2018).
Di tengah gemerlapnya realitas demokrasi bangsa Indonesia yang semakin hari semakin dinamis, tampaknya bangsa Indonesia tenggelam dalam ilusi keadilan yang berkelanjutan. Di negeri demokrasi, tempat di mana kebebasan dihargai dan setiap suara diakui, terdapat keberanian yang tak terhitung jumlahnya —sebuah keberanian yang sering kali terlupakan. Para pahlawan tanpa tanda jasa, mereka yang tanpa sengaja menulis kisah keberanian di sela-sela kesibukan, menjadi cermin bagi kontradiksi antara idealisme demokrasi dan realitasnya.
Demokrasi menjanjikan keadilan untuk semua, namun keberanian yang ditunjukkan oleh pahlawan tanpa tanda jasa memberikan catatan tajam bahwa keadilan yang diilusikan dan diharakan belum sepenuhnya terwujud. Mereka mungkin berasal dari komunitas yang terpinggirkan atau bahkan dari profesi yang terabaikan. Sebagai contoh konkret, ialah pada perjuangan guru honorer di bidang pendidikan. Mereka, yang seharusnya menjadi ujung tombak dalam membentuk generasi masa depan, seringkali bekerja dalam kondisi yang tidak sebanding dengan peran vital mereka. Meski demikian, semangat mereka untuk memberikan pendidikan berkualitas tidak pernah padam (Saputra, Saputri, & Bimantara, 2023).
Terkadang, ilusi keamanan dan keadilan dalam demokrasi terbentuk dari ketidakpedulian kita terhadap suara-suara yang lebih tenang. Pahlawan tanpa tanda jasa hadir sebagai pengingat akan ketidaksetaraan ini. Mereka bukan hanya mendidik di kelas-kelas terpencil atau bekerja di sektor yang kurang diakui, tetapi juga berjuang melawan ketidaksetaraan yang merajalela.Selama ini, mungkin kita telah terlena oleh bayangan demokrasi yang sempurna, di mana kebebasan dan keadilan bersemi di setiap sudut masyarakat. Namun, melalui kisah pahlawan tanpa tanda jasa, kita diingatkan bahwa demokrasi bukanlah tujuan akhir, melainkan proses yang terus menerus memerlukan peningkatan dan penyempurnaan (Silitonga, 2016).
Para pahlawan ini, apakah itu guru honorer yang gigih, pekerja sosial yang tanpa pamrih, atau individu-individu lain yang berjuang di lapisan masyarakat yang kurang terlihat, memberikan teladan bahwa keberanian dapat ditemukan di tempat-tempat tak terduga. Bagi mereka, demokrasi bukan hanya kata-kata indah dalam dokumen konstitusi, melainkan panggilan untuk bertindak, mengisi kesenjangan, dan meruntuhkan tembok ketidaksetaraan. Demokrasi sejati tidak hanya tentang hak formal, tetapi juga tentang keberanian untuk bertindak dalam menghadapi ketidaksetaraan yang nyata. Pahlawan tanpa tanda jasa ini mengekspos ilusi keamanan dan keadilan dalam demokrasi, mengajak kita untuk melihat dengan seksama di balik tirai panggung politik. Guru honorer, sebagai contoh, mewakili kelompok yang terpinggirkan dalam sistem pendidikan. Meskipun kontribusi mereka sangat besar, tunjangan dan penghargaan yang mereka terima seringkali tidak setimpal dengan dedikasi mereka (Wibowo, 2018). Ini menjadi suatu paradoks dalam negara demokratis, di mana pendidikan dianggap sebagai fondasi kemajuan, tetapi para pendidiknya sendiri tidak selalu mendapat pengakuan yang setara. Keberanian pahlawan tanpa tanda jasa tercermin dalam tekad mereka untuk terus mengajar, menginspirasi, dan membentuk karakter generasi mendatang, tanpa peduli seberapa tidak adilnya sistem yang mereka hadapi.
Author: Arif Surya Volta / arifsuryavolta49@gmail.com