Sandyakala…
Mengubah hampa menjadi sebuah rasa.
Tentang cakrawala yang menunjukkan keelokannya,
atau tentang kabut merah yang seolah-olah memelukku,
dan membiarkanku bersenandung bersamanya.
Bersamanya,,,
aku terpaku pada sebuah aksara,
yang takkan hilang meskipun air membasuhnya,
dan tak akan padam bila angin meniupnya.
Yang meninggalkan seleret duka,
serta menyisakan rasa yang niskala.
Masih ingatkah kau, Tuan?
Tentang rasa kopi susu itu dan makanan yang pelayan sajikan untukmu?
Ditemani melodi-melodi indah dari siulan camar yang merdu.
Manisan lembut bertabur gula nan mengiurkan itu,
beserta terompah yang terbawa oleh angin kemudian berlalu.
Atau kuda besi yang melaju mengalahkan detikan waktu.
Tapi aku rasa semuanya telah kau hapuskan dari memorimu
Lalu kau gantikan dengan memori baru.
Tuan,sudah sewindu lamanya…
Tapi aku masih di sini berteduh dibawah sandyakala dan bersenandung bersamanya.
Purnamapun telah bercakap bersama langit untuk kesekian kalinya.
Penulis Buletin kondang itu pun telah menerbitkan kisah-kisahnya.
Namun aku masih disini berusaha membungkam sukma yang menjerit kesakitan.
Mengunci batin ini bersama terai yang terus menerka-nerka,
dan membiarkan tangisan rindu mewarnai setiap napas.
Tuan, sebenarnya aku tak tahan!
Haruskah aku masih bertahan dan menunggu kau pulang?
Atau justru menyerah dan menghapus segala kisah,
Dan terbang bersama sandyakala menuju kegelapan.
Puisi karya Aufa Kirana Azzahra Kelas 9B.